Kata “مَولِد” adalah bentuk isim zaman yang diambil dari kata “ولد” dalam bentuk madli yang artinya: hari, bulan atau tahun kelahiran. Jadi yang dimaksud dengan bulan maulid adalah: bulan kelahiran Nabi besar Muhammad SAW.
Bulan Rabiul Awal merupakan bulan kelahiran Rasulullah SAW, tepatnya pada hari senin, tanggal 12 Rabiul Awal, yang pada tahunnya terkenal dengan sebutan tahun GAJAH. Sebagian besar umat islam –tepat pada tanggal dan bulan ini- membiasakan merayakan hari kelahiran Baginda Rasulullah SAW (molotan; madura), dengan berbagai macam cara; baik dengan cara yang sederhana seperti: selamatan (arebbe; madura), dengan membawa beranakaragam makanan dan buah-buahan ke- masjid/musholla sambil membaca sholawat “barzanji” dan lain sebagainya, atau dengan cara yang cukup meriah seperti: mengadakan pengajian akbar/umum yang mengisahkan atau meriwayatkan sejarah perjalanan Rasulullah SAW dan lain sebagainya, untuk mengisi dan menghiasi bulan itu. Apakah hal semacam ini pernah terjadi dizaman Rasulullah, atau dizaman sahabat? Kalau memang pernah terjadi, apakah perayaannya sama dengan yang dilakukan umat islam sekarang ini?.
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti ini juga muncul. Dan sampai sekarangpun pertanyaan-pertanyaan seperti ini masih sering kita dengarkan.
Seperti yang telah diketahui, perayaan Maulid Nabi ini merupakan satu perayaan yang terjadi kontroversi antar ulama`. Ulama` berbeda pendapat akan kebolehan perayaan ini. Masyarakat awam terjepit antara dua pendapat yang harus diikutinya. Sedangkan kedua belah pihak terdiri daripada ulama`-ulama` terkemuka. Lalu pendapat mana yang harus kita ambil?. Disini –Insyaallah- kami akan menjelaskan tentang masalah ini.
Sebenarnya banyak dari kalangan ulama` yang menyokong dan menyerukan akan perayaan Maulid Nabi yang antara lain ialah: Imam Jalaluddin Sayuti, Sayid Sheikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Imam Sayuti, Ibnu Hajar Asqalani dan Ibnu hajar al-Haitami, Syaikh Ja`far Al-Barzanji, dan Sultan Salahuddin Al Ayyubi.
Imam Jalaluddin Sayuti berkata:
“Amalan (perayaan) semacam itu adalah bid`ah, akan tetapi bid`ah Hasanah (bid`ah baik) yang diberi pahala bila mengerjakannya kerana dalam amalan (perayaan) tersebut terdapat suasana membesarkan dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW, melahirkan kesukaan dan kegembiraan atas lahirnya Baginda Rasulullah SAW yang mulia”.
Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan berkata: “Telah berlaku kebiasaan bahwa orang apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, maka ketika Nabi lahir itu mereka berdiri bersama-sama untuk meghormati dan membesarkan Nabi Muhammad saw. Berdiri itu adalah hal yang mustahsan (dianggap baik) kerana pada dasarnya ialah membesarkan Nabi Muhammad saw dan sesungguhnya banyak yang telah mengerjakan hal serupa dari banyak kalangan ulama`-ulama` panutan umat”.
Syeikh Atiah Saqr juga berkata: Saya berpendapat “tidak menjadi kesalahan untuk menyambut maulid. Apatah lagi di zaman ini pemuda pemudi Islam semakin lupa dengan agama dan kemuliannya”.
Dalil-dalil yang ulama`-ulama` yang disebut di atas, yang cenderung membolehkan acara Maulid semacam ini tidak lain adalah berikut: 1.Firman Allah SWT -ketika mengutus Nabi Musa kepada kaumnya- yang maksudnya:
“Hendaklah kamu memperingatkan mereka dengan hari-hari kebesaran Allah”. (Surat Ibrahim: 5). 2. Firman Allah dalam surat Yunus: 58
“katakanlah: dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” Ibnu `Abbas r.a. -dalam menafsirkan ayat ini- berkata: “yang dimaksud dengan kata “فضل الله” (karunia Allah) ialah: ilmu, dan “وبرحمته” (rahmat-Nya) ialah: Nabi Muhammad SAW. hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT:
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”. (Al Anbiya`: 107) Yang artinya; Nabi Muhammad dilahirkan/diutus kedunia, tidak lain adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jadi sudah sepantasnya bagi ummat Muhammad (ummat islam) untuk selalu bersyukur kepada Allah SWT, tidak hanya pada setiap tahun saja, melainkan setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, bahkan, setiap saat/detikpun kita harus mensyukurinya. Sebagaimana telah dilakukan oleh orang Yahudi. Dimana mereka berpuasa dihari Asyra` (10 Muharram), sebagai wujud syukur mereka atas selamatnya Nabi Musa AS dan ditenggelamkannya Fir`aun dan bala tentaranya. -Demikian yang disebutkan dalam hadits Bukhori Muslim-. Bahkan dalam kelanjutan hadits ini Nabi Muhammad berkata: Aku lebih berhak daripada kalian (orang yahudi). Lalu bagaimana dengan terlahir dan terutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Sayidul Anbiya` wal Mursalin dan Khotimul Anbiya`. Tidakkah ini lebih patut kita syukuri?.
Tidak ada kenikmatan yang paling besar, selain keimanan dan keislaman yang telah dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sayid Muhammad Alawi Al Maliki Al Husni dalam kitabnya menjelaskan bahwa, orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi SAW, tidak lain adalah Beliau (Nabi SAW) sendiri, ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
“Nabi telah ditanya tentang puasa hari Isnin (senin). Beliau bersabda: Pada hari tersebut adalah hari kelahiranku”.
Ada juga riwayat lain dari Abi Qatadah al Ansori; beliau berkata: Nabi telah ditanya tentang puasa hari Isnin (senin). Beliau bersabda: Pada hari tersebut adalah hari kelahiranku dan hari aku diutus sebagai Rasul dan juga hari diturunkannya Quran padaku”. Dari hadits ini jelas, bahwa Beliau Nabi Muhammadpun merayakan hari kelahirannya sendiri, dan merupakan orang yang pertama kali merayakannya. Akan tetapi Beliau merayakannya dengan cara berpuasa.
Apakah kita juga harus melaksanakan perayaan ini (maulid) dengan cara berpuasa?.
Tentu saja tidak, yang penting hukum asal dalam “syari`at islam” ada, -sama halnya dengan sholat TARAWIH- maka kita tinggal melaksanakannya saja. Adapun cara, itu tergantung pada ijtihad, pemikiran dan keberadaan/kemampuan kita masing-masing. Yang penting tidak bertentangan dengan “syariat” atau undang-undang islam (Al Qur`an, Al hadits, Ijma` Ulama`, dan Qiyas). Namun yang perlu ditekankan dalam mengadakan perayaan ini adalah: mengingat kepribadian atau sifat-sifat dan akhlak Nabi Muhammad SAW untuk kita teladani, sekaligus menjalani segala tuntunan-tuntunan yang beliau ajarkan melalui Al Hadits. Dikarnakan banyak ummat islam yang melupakan atau menyepelekan hal-hal yang sudah dituntunkan oleh Nabi SAW seperti: etika ketika masuk/keluar masjid, masuk/keluar WC, dan lain sebagainya, bahkan berhubungan intimpun (suami istri) itu telah dituntun oleh Nabi SAW. Padahal semua gerak-gerik kita dalam “sehari- semalam” itu tidak luput dari tuntunan Al Hadits.
Ada pula kelompok yang menyerukan, mencintai Nabi Muhammad tidak harus diwujudkan dengan perayaan (molotan; madura) yang berbau bid'ah. Momen maulid nabi diingat dengan jalan mencintai dan ittiba' (mengikuti) syariatnya/sunnah-sunnahnya dan mengagungkannya. Selain itu berdakwah serta memerangi setiap penyimpangan.Wallahu A`lam.[]
Bulan Rabiul Awal merupakan bulan kelahiran Rasulullah SAW, tepatnya pada hari senin, tanggal 12 Rabiul Awal, yang pada tahunnya terkenal dengan sebutan tahun GAJAH. Sebagian besar umat islam –tepat pada tanggal dan bulan ini- membiasakan merayakan hari kelahiran Baginda Rasulullah SAW (molotan; madura), dengan berbagai macam cara; baik dengan cara yang sederhana seperti: selamatan (arebbe; madura), dengan membawa beranakaragam makanan dan buah-buahan ke- masjid/musholla sambil membaca sholawat “barzanji” dan lain sebagainya, atau dengan cara yang cukup meriah seperti: mengadakan pengajian akbar/umum yang mengisahkan atau meriwayatkan sejarah perjalanan Rasulullah SAW dan lain sebagainya, untuk mengisi dan menghiasi bulan itu. Apakah hal semacam ini pernah terjadi dizaman Rasulullah, atau dizaman sahabat? Kalau memang pernah terjadi, apakah perayaannya sama dengan yang dilakukan umat islam sekarang ini?.
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti ini juga muncul. Dan sampai sekarangpun pertanyaan-pertanyaan seperti ini masih sering kita dengarkan.
Seperti yang telah diketahui, perayaan Maulid Nabi ini merupakan satu perayaan yang terjadi kontroversi antar ulama`. Ulama` berbeda pendapat akan kebolehan perayaan ini. Masyarakat awam terjepit antara dua pendapat yang harus diikutinya. Sedangkan kedua belah pihak terdiri daripada ulama`-ulama` terkemuka. Lalu pendapat mana yang harus kita ambil?. Disini –Insyaallah- kami akan menjelaskan tentang masalah ini.
Sebenarnya banyak dari kalangan ulama` yang menyokong dan menyerukan akan perayaan Maulid Nabi yang antara lain ialah: Imam Jalaluddin Sayuti, Sayid Sheikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Imam Sayuti, Ibnu Hajar Asqalani dan Ibnu hajar al-Haitami, Syaikh Ja`far Al-Barzanji, dan Sultan Salahuddin Al Ayyubi.
Imam Jalaluddin Sayuti berkata:
“Amalan (perayaan) semacam itu adalah bid`ah, akan tetapi bid`ah Hasanah (bid`ah baik) yang diberi pahala bila mengerjakannya kerana dalam amalan (perayaan) tersebut terdapat suasana membesarkan dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW, melahirkan kesukaan dan kegembiraan atas lahirnya Baginda Rasulullah SAW yang mulia”.
Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan berkata: “Telah berlaku kebiasaan bahwa orang apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, maka ketika Nabi lahir itu mereka berdiri bersama-sama untuk meghormati dan membesarkan Nabi Muhammad saw. Berdiri itu adalah hal yang mustahsan (dianggap baik) kerana pada dasarnya ialah membesarkan Nabi Muhammad saw dan sesungguhnya banyak yang telah mengerjakan hal serupa dari banyak kalangan ulama`-ulama` panutan umat”.
Syeikh Atiah Saqr juga berkata: Saya berpendapat “tidak menjadi kesalahan untuk menyambut maulid. Apatah lagi di zaman ini pemuda pemudi Islam semakin lupa dengan agama dan kemuliannya”.
Dalil-dalil yang ulama`-ulama` yang disebut di atas, yang cenderung membolehkan acara Maulid semacam ini tidak lain adalah berikut: 1.Firman Allah SWT -ketika mengutus Nabi Musa kepada kaumnya- yang maksudnya:
“Hendaklah kamu memperingatkan mereka dengan hari-hari kebesaran Allah”. (Surat Ibrahim: 5). 2. Firman Allah dalam surat Yunus: 58
“katakanlah: dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” Ibnu `Abbas r.a. -dalam menafsirkan ayat ini- berkata: “yang dimaksud dengan kata “فضل الله” (karunia Allah) ialah: ilmu, dan “وبرحمته” (rahmat-Nya) ialah: Nabi Muhammad SAW. hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT:
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”. (Al Anbiya`: 107) Yang artinya; Nabi Muhammad dilahirkan/diutus kedunia, tidak lain adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jadi sudah sepantasnya bagi ummat Muhammad (ummat islam) untuk selalu bersyukur kepada Allah SWT, tidak hanya pada setiap tahun saja, melainkan setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, bahkan, setiap saat/detikpun kita harus mensyukurinya. Sebagaimana telah dilakukan oleh orang Yahudi. Dimana mereka berpuasa dihari Asyra` (10 Muharram), sebagai wujud syukur mereka atas selamatnya Nabi Musa AS dan ditenggelamkannya Fir`aun dan bala tentaranya. -Demikian yang disebutkan dalam hadits Bukhori Muslim-. Bahkan dalam kelanjutan hadits ini Nabi Muhammad berkata: Aku lebih berhak daripada kalian (orang yahudi). Lalu bagaimana dengan terlahir dan terutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Sayidul Anbiya` wal Mursalin dan Khotimul Anbiya`. Tidakkah ini lebih patut kita syukuri?.
Tidak ada kenikmatan yang paling besar, selain keimanan dan keislaman yang telah dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sayid Muhammad Alawi Al Maliki Al Husni dalam kitabnya menjelaskan bahwa, orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi SAW, tidak lain adalah Beliau (Nabi SAW) sendiri, ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
“Nabi telah ditanya tentang puasa hari Isnin (senin). Beliau bersabda: Pada hari tersebut adalah hari kelahiranku”.
Ada juga riwayat lain dari Abi Qatadah al Ansori; beliau berkata: Nabi telah ditanya tentang puasa hari Isnin (senin). Beliau bersabda: Pada hari tersebut adalah hari kelahiranku dan hari aku diutus sebagai Rasul dan juga hari diturunkannya Quran padaku”. Dari hadits ini jelas, bahwa Beliau Nabi Muhammadpun merayakan hari kelahirannya sendiri, dan merupakan orang yang pertama kali merayakannya. Akan tetapi Beliau merayakannya dengan cara berpuasa.
Apakah kita juga harus melaksanakan perayaan ini (maulid) dengan cara berpuasa?.
Tentu saja tidak, yang penting hukum asal dalam “syari`at islam” ada, -sama halnya dengan sholat TARAWIH- maka kita tinggal melaksanakannya saja. Adapun cara, itu tergantung pada ijtihad, pemikiran dan keberadaan/kemampuan kita masing-masing. Yang penting tidak bertentangan dengan “syariat” atau undang-undang islam (Al Qur`an, Al hadits, Ijma` Ulama`, dan Qiyas). Namun yang perlu ditekankan dalam mengadakan perayaan ini adalah: mengingat kepribadian atau sifat-sifat dan akhlak Nabi Muhammad SAW untuk kita teladani, sekaligus menjalani segala tuntunan-tuntunan yang beliau ajarkan melalui Al Hadits. Dikarnakan banyak ummat islam yang melupakan atau menyepelekan hal-hal yang sudah dituntunkan oleh Nabi SAW seperti: etika ketika masuk/keluar masjid, masuk/keluar WC, dan lain sebagainya, bahkan berhubungan intimpun (suami istri) itu telah dituntun oleh Nabi SAW. Padahal semua gerak-gerik kita dalam “sehari- semalam” itu tidak luput dari tuntunan Al Hadits.
Ada pula kelompok yang menyerukan, mencintai Nabi Muhammad tidak harus diwujudkan dengan perayaan (molotan; madura) yang berbau bid'ah. Momen maulid nabi diingat dengan jalan mencintai dan ittiba' (mengikuti) syariatnya/sunnah-sunnahnya dan mengagungkannya. Selain itu berdakwah serta memerangi setiap penyimpangan.Wallahu A`lam.[]
oleh Muhammad Su'udi
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar dan jangan lupa di share