May 30, 2010

Yang Kusyukuri Dari Sakit Ini

Yang Kusyukuri Dari Sakit Ini   

Lelaki itu –entahlah –sepertinya sudah ditakdirkan menjadi tempat bersarang bagi bermacam penyakit. Renta, lapuk, kuyu... padahal usianya belum lagi genap empat puluh. Tapi satu yang saya lihat indah padanya: pancaran kehidupan.
Lelaki ini, saya pikir, adakah yang bisa dinikmatinya dari hidup? Mungkin tak ada. Diabetes membuat ia harus mengonsumsi makanan-makanan berkadar gula rendah dan minum air putih. Sementara hipertensinya membuat ia tak boleh menyentuh makanan-makanan seperti daging, telur, bahkan konsumsi garam pun dibatasi. Padahal... apa nikmat makanan tanpa garam? Tak ada makanan ‘lezat’ yang bisa ia nikmati, pun dengan minuman ‘manis.’ Penyakit telah menceraikannya dari rasa yang menjadi simbol bagi nikmat yang Allah percikkan ke dunia.
Itu masih belum semua. Ia juga menderita lever. Ginjalnya pun tidak normal yang mengharuskannya cuci darah secara berkala. Matanya rabun, telinganya tak berfungsi dengan baik. Oya... ia juga pernah terkena stroke sehingga mengakibatkan sebagian tubuhnya lumpuh.
Sungguh, entahlah, apakah saya akan sanggup bertahan jika harus menanggung semua itu secara bersamaan. O, tidak... tentu tidak. Saya tidak akan mengambil pisau di meja itu lantas memotong urat nadi, atau mencampur segelas air dengan racun tikus atau obat serangga dan meminumnya agar dipercepat kematian itu tiba. Tak pula saya akan menggunakan ikat pinggang untuk menjerat leher. Seawam apa pun saya tentang takdir, saya tahu bahwa bunuh diri adalah sikap paling pengecut dari orang-orang yang pernah hidup.
Namun, meskipun saya bisa memastikan diri tak akan melakukan tindakan bodoh itu, namun saya tak yakin apakah saya akan terbebas dari kesibukan mengeluh.
Ya, benar. Mengeluh. Saya tidak akan mengatakan Tuhan tidak adil. Tentu adil. Keadilan dalam pandangan-Nya tentu berbeda dengan keadilan di mata seorang hamba. Dia selalu istimewa dalam membahasakan cinta. Ia juga begitu indah dalam menjelaskan keluasan makna adil. Tapi, sampai hari ini, saya masih belum bisa membaca -–kendati saya yakin-- apa yang bisa disyukuri oleh lelaki dengan sejuta penyakit ini, sehingga saya bisa mengatakan bahwa ia menerima keadilan Allah.
Kenapa? Jika lelaki itu seorang bajingan, bandit kampung atau residivis, lantas menerima penyakit semacam itu, maka saya cukup bisa mengatakan, “itu adalah balasan Allah untuk perbuatannya. Allah berkenan membalas amalannya di dunia selagi dia masih hidup. Harusnya dia beruntung sebab terhindar dari pelipatgandaan siksa di yaumil baats.”
Tapi tidak dengan lelaki ini. Ia menderita cacat dan ketidaklengkapan jasmani semenjak lahir. Penyakitnya itu menyerang jauh semenjak dia baru mulai menapaki usia remaja di mana kedewasaan menjadi syarat dihitungnya amal atas diri seseorang.
Mungkin, dengan melihatnya, saya bisa bersyukur. Bukan bersyukur atas keadaannya, tetapi bersyukur atas keadaan saya. Melihat keadaannya, saya bisa melihat betapa keluangan begitu banyak berpihak pada saya. Betapa banyak keberuntungan dan nikmat yang ada pada saya namun saya tak melihatnya selama ini. O, tak usah semua, jika saja mata lelaki ini berfungsi normal seperti saya, mungkin ia bersyukur bisa menikmati keindahan yang terpampang di depannya. Lantas saya mensyukuri penglihatan saya. Jika telinganya berfungsi normal, ia bisa mendengar keindahan suara-suara sebagaimana saya. Maka saya mensyukuri pendengaran saya. Jika... jika....
Dia, kata saya, mungkinkah memang diciptakan Allah untuk menjadi pelajaran bagi yang sehat, lantas pada saatnya nanti ia akan menjadi pelajaran bagi yang hidup? Jika benar demikian, lantas apa yang bisa menjadi hak dari lelaki ini? Perlukah baginya bersyukur atas apa yang telah ‘dikaruniakan’ Allah kepada-Nya?
Anehnya, di wajahnya saya melihat pancaran kehidupan yang membuat saya begitu silau. Saya selalu bertanya tentang rahasia dari binar hidup di wajahnya itu. Saya merasa ada lautan syukur yang begitu dalam di sana. Lautan itu menenggelamkan segala yang saya pikirkan. Karenanya, saya selalu kehilangan kata-kata untuk berkata begini dan begini di hadapannya.
-----
Lelaki ini, apa yang kurang padanya? Wajah tampan, kesehatan prima, harta bersisa, kedudukan berwibawa, istri yang sempurna.... Hampir tak ada yang bisa dicela darinya. Senyumnya ramah kepada semua mata. Ia berjalan dengan tegap namun tidak dengan gaya jumawa. Pakaiannya sahaja kendati semua orang tahu ia tak pernah papa.
Sungguh-sungguh, lelaki ini adalah gambaran kesempurnaan yang mungkin pernah Allah berikan kepada Yusuf a.s.
Kenapa saya berani menyebut denikian? Saya bukan hendak mengatakan ketampanan lelaki ini setara dengan Putranda Ya’qub a.s. itu. Saya hanya membuat tamsil bahwa lelaki ini adalah perpaduan dari keindahan, ketampanan, keimanan, keperkasaan, kekayaan, kesederhanaan, kerendahhatian... dan entah apa lagi.
Saya memandangnya dengan rasa iri. Bukan untuk saya... tapi untuk lelaki dengan sejuta penyakit yang kini tergolek di rumah sakit menjalani cuci darah secara berkala. Jika saja sedikit dari yang dimiliki lelaki sempurna ini dianugerahkan Allah kepadanya, maka alangkah saya bisa berkata, ada sedikit yang bisa disyukuri dari hidup yang diserahkan Tuhan pada umurnya.
-----
Benarkah tak ada yang disyukuri dari hidupnya itu? Entahlah, saya belum bisa menjawab. Hari ini, si lelaki sempurna tiba-tiba meninggal dunia. Cara meninggal yang cukup baik, saya rasa. Semua orang menangis, meratap-ratap atas kepergiannya. Akan banyak hal bisa dikenang dari lelaki sempurna itu. Gaya berjalannya, caranya menyapa, pandangannya yang lembut teduh, senyumnya yang hangat.... Ada begitu banyak jejak bisa dibaca setelah ia pergi kembali pada kekasihnya.
Tapi, bagaimana dengan lelaki pemilik sejuta penyakit ini? Siapa yang akan menangisinya jika ia mati nanti? Siapa akan mengenang senyumnya yang nyaris tak ada atau dikenal orang? Siapa akan mengingat gaya berjalannya sedang waktunya habis untuk bergolek di ranjang rumah sakit? Bahkan mungkin namanya tersesat dari ingatan orang-orang, tak terlacak. Nisannya akan menjadi tugu tak bernama, lantas pelan-pelan hilang dimakan usia.
Hari ini, saya melihat matahari di wajahnya. Wajahnya berpijar-pijar hingga hampir saya habis ditelan pendarnya. Paras itu cerah, senyuman penuh syukur dan keikhlasan, begitu yang saya tangkap kendati sampai hari ini saya belum juga bisa menemukan apa yang sekiranya bisa ia syukuri sehingga cukup pantas senyum itu terpahat di wajahnya.
“Yang saya syukuri dari sakit ini,” katanya pelan, “adalah bahwa Allah mengakrabkan saya dengan kematian sekaligus memberi waktu begitu panjang untuk mempersiapkan diri menyambutnya.”
Saya mengernyit oleh bisikannya. Inikah rahasia dari senyum matahari yang ada di wajahnya? Astaghfirullah... betapa bodohnya saya. Sungguh, betapa saya tak mengerti selama ini tentang rahasia syukurnya. Betapa iri saya. Bukan saja iri pada kecakapannya bersyukur, tapi juga iri betapa ia selalu diingatkan pada kematian oleh berbagai penyakit yang ia derita. Sementara sakit bagi saya adalah keluhan... keluhan... keluhan.....
Sakti Wibowo (sakti@syaamil.co.id)
Cikutra, 4 Februari 2003
-----------------
sumber : eramuslim.com

Wanita yang Dipenuhi Rasa Cinta

Wanita yang Dipenuhi Rasa Cinta    

Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan.
Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam.
“Mbah...!” suaranya bergetar saat berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan....
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada.
“Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit bagian mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya.
Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.
Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami.
Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan.
Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi.
Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala desa-ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan.
Baginya, duka itu adalah miliknya sendiri. Jangan sampai memberi anak linangan air mata. Jangan sampai ia berikan duka.
Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri dengan bodoh; kendati sebenarnya itu pernah terlintas dalam benaknya.
“Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari ini,” ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah 'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara pahlawan.
Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu.
Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya.
Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kriiman itu, tapi kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama, tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu.
Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak-anak suaminya dari istri mudanya.
Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa belajar dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah.
Kali ini, wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir.
Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri.
Sementara istrinya -si wanita ini-mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka.
Maka, meradanglah si lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.
Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh.
Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis.
Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.
Dan... kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba, mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki itu.
“Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'
Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya.
Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata sudah berbondog-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia... tak lain adalah ibu saya.
Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan duka.
Sakti Wibowo (abu_ahmadi at yahoo dot co do in)
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.
(Tulisan ini terlah termuat dalam buku “Diari Kehidupan 1,” PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)

Wanita Dicipta Untuk Dilindungi

Wanita Dicipta Untuk Dilindungi   

Allah SWT tidak menciptakan wanita dari kepala laki-laki untuk dijadikan atasannya. Tidak juga Allah SWT ciptakan wanita dari kaki laki-laki untuk dijadikan bawahannya. Tetapi Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dekat dengan lenganya untuk dilindunginya, dan dekat dengan hatinya untuk dicintainya.
Allah tidak menciptakan wanita sebagai komplementer atau sebagai barang substitusi apalagi sekedar objek buat laki-laki. Tetapi Allah menciptakan wanita sebagai teman yang mendampingi hidup Adam tatkala kesepian di surga. Juga Allah ciptakan wanita sebagai pasangan hidup laki-laki yang akan menyempurnakan hidupnya sekaligus sebab lahirnya generasi, disamping tunduk dan beribadah kepada Allah tentunya.
Tetapi mengapa tetap saja ada laki-laki yang tunduk di bawah kaki wanita. Mengemis cintanya, berharap kasih sayangnya dengan menggadaikan kepemimpinan, bahkan kehormatan dan harga dirinya.
Wanita dipuja bagai dewa, disanjung bagai Dewi Shinta, yang banyak menyebabkan laki-laki buta mata, buta telingga, bahkan buta mata hatinya. Namun ada juga yang menganggap rendah wanita. Wanita dinista, dihina. Kesuciannya dijadikan objek yang tidak bernilai harganya. Tenaganya dieksploitasi bagaikan kuda. Kelembutannya dijadikan transaksi murahan yang tak seimbang valuenya.
Wanita dijadikan sekedar pemuas nafsu belaka, bila habis madunya, dengan seenaknya di buang ke keranjang sampah, atau dianggap sandal jepit yang tak berguna.
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita melihat mereka menjajakan diri di gelapnya malam yang mencekam. Relakah kita melihat mereka membanting tulang mengumpulkan ringgit atau real dengan mayat terbujur kaku sebagai resikonya?
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita membiarkannya seperti seonggok jasad hidup yang tidak memiliki nilai guna?
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita membiarkannya beringas, liar, ganas, tidak berpendidikan, bodoh, dunggu, hanya karena ketidakmampuan ayah memberi nafkah, karena ketidakmampuan kita medidik dan mencintainya, karena ketidakmampuan kita melindunginya, sebagaimana Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dekat dengan lengannya untuk dilindunginya, dekat dengan hatinya untuk dicintainnya.
Ia tetap wanita, yang diciptakan Allah SWT dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Tidak bisa manusia dengan akalnya yang kerdil ini mengganti kedudukannya apa lagi fitrahnya.
Ia bagaikan sekuntum bunga terpelihara, tidak semua kumbang bisa menghisap madunya. Lemah lembutlah dalam memperlakukannya, karena kalau tidak, ia bisa seganas srigala.
(elsandra/yelsandra@yahoo.com)

WANITA AHLI SURGA CIRINYA

WANITA AHLI SURGA CIRINYA    

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya Ahad,

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?" (QS. Muhammad : 15)

"Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan." (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur'an yang mulia, diantaranya :

"Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik." (QS. Al Waqiah : 22-23)

"Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin." (QS. Ar Rahman : 56)

"Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan." (QS. Ar Rahman : 58)

"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya." (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

" ... seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya." (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : "Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan." Dan mereka juga mendendangkan : "Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi." (Shahih Al Jami' nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur'an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma'ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu' Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

" ... dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. An Nisa' : 13).

Wallahu A'lam Bis Shawab.
--------
Nama Pengirim
: Abdul Haq abu muhammad
Email
: info_ibnu@yahoo.co.id

Ujian Seseorang Sesuai Kadar Agamanya

Ujian Seseorang Sesuai Kadar Agamanya   
 
Saad bin Abi Waqqash berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw., 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujian dan cobaannya?' Nabi saw. menjawab, 'Para nabi, kemudian yang menyerupai mereka, dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya tipis (lemah), dia diuji sesuai dengan itu (ringan); dan bila imannya kokoh, dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa'." (HR Bukhari)
Sesungguhnya ujian bagi seorang hamba itu berdasarkan agamanya. Jika agamanya kuat, ia akan diuji dengan ujian yang berat. Sebailknya, jika agamanya lemah, ia akan diuji dengan ujian yang ringan. Para rasul dan para nabi adalah orang-orang yang utama karena mereka mendapat ujian dari Allah sangat berat. Ujian yang mereka terima tidak akan sanggup dipikul oleh orang biasa (awam). Ketika berdakwah menyebarkan agama Islam, Rasululah saw. dituduh sebagai tukang sihir. Beliau difitnah dengan berbagai macam cara oleh orang-orang musrik kaum Quraisy. Orang-orang kafir membuat makar kepada Rasulullah, tetapi akhirnya Allah memenangkan agama Islam ini.
Seseorang yang hendak memegang teguh agamanya pasti akan mendapati berbagai tantangan-tantangan, baik tantangan dari luar maupun dari dalam. Tantangan itu bisa datang dari mana saja. Seperti yang terlihat sekarang ini, ujian sekarang ini banyak sekali yang berasal dari kalangan umat Islam sendiri. Ketika seorang ulama menyuarakan kebenaran, ada saja yang menentangnya. Ketika goyang haram Inul diprotes, ada saja yang menentangnya. Bahkan, suara yang menentang kebenaran itu justru lebih kuat daripada yang membelanya. Kita jadi bertanya sebenarnya mereka orang-orang yang memiliki organisasi kuat itu di mana. Mana reaksi dari Muhammadiyah? Mana reaksi dari Al- Irsyad? Mana reaksi dari NU? Mana reaksi dari Persis? Mengapa kalian tidak satu suara. Ini adalah tantangan yang besar yang dihadapi umat ini. Dia, Rhoma Irama yang bukan ulama, malah berani mendukung protes ulama, hingga dia sendiri melakukan tindakan nyata. Kini dia sedang dipojokkan, apa dukungan kita untuk para pembela kebenaran itu? Ketika pornografi menggema, ketika pornoaksi menggelora, mana reaksi organisasi-organisasi Islam yang besar-besar itu. Untuk apa organisasi Islam didirikan kalau tidak untuk menegakkan nilai-nilai syariat Islam!
Pada zaman modern sekarang ini orang yang memperjuangkan kebenaran akan tersisih. Pada umumnya mereka yang kokoh memegang kebenaran dan berani mengatakan dengan keras dan terbuka justru malah yang dimusuhi dan dibenci. Abu Bakar Baasyir, misalnya, adalah salah satu tokoh yang berani menyuarakan kebenaran meskipun di hadapan raja. Beliau kini menghadapi berbagai tantangan yang berat. AS menghendaki orang yang berjuang keras menegakkan syariat Islam ini lenyap dari peredaran. Sekarang beliau ditahan dan sedang dibawa ke meja hijau. Orang-orang seperti beliau benar-benar menghadapi ujian yang berat. Dengan nyata dan jelas beliau dan mereka yang konsisten dengan menegakkan kebenaran adalah yang menyerupai para nabi. Itulah sebabnya barangkali para tokoh muslim enggan untuk menyuarakan hati nuraninya dengan terang-terangan karena takut tersisih. Apalagi, para pemimpin organisasi Islam terkemuka, mereka memiliki harapan menjadi calon legislatif dan eksekutif. Mereka takut tersisih dari arena politik. Oleh karena itu, mereka menganggap lebih baik ngumpet daripada keluar.
Kita tidak sepatutnya bersikap demikian. Kita dituntut untuk mengamalkan agama ini sebaik-baiknya, yang benar kita suarakan benar, yang salah kita suarakan salah. Yang menyuarakan kebenaran kita dukung, yang menentangnya kita tentang. Jangan sampai kita lengah menghadapi hidup ini sehingga menjadi pengecut. Kita harus tegar memegang kebenaran. Dengan tegar dan istikamah itu kita akan mendapat pertolongan dari Allah SWT. Jika setiap kita mengambil sikap demikian, orang-orang pembela kemungkaran akan takut menghadapi kaum muslimin. Jika masing-masing kita memiliki kekuatan agama, orang- orang kafir akan takut menghadapi kita. Kita lemah sehingga mereka tidak takut, bahkan menginjak dan menjajah kita. Marilah kita tingkatkan kekuatan iman kita untuk menyongsong kehidupan esok yang lebih baik. Allah tidak menuntut kita yang di luar kesanggupan kita, karena Allah hanya akan menguji kita sesuai dengan kekuatan kita.
-----------------
Sumber: Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tunjukkan Padaku Jika Kau S'lalu Mencintaiku

Tunjukkan Padaku Jika Kau S'lalu Mencintaiku    

Author: Abu Aufa

Mengungkapkan cinta? Wuih... buat sebagian orang, mungkin itu hal yang biasa, bahkan teramat biasa. Sana-sini tebar pesona, bagai Ramli si Raja Chatting atau Arjuna si Pencari Cinta. Emang, dahsyatnya ungkapan cinta kepada seseorang, jangankan ke gurun atau ke kutub, luasnya laut siapa takut. Setia menemani sang kekasih dalam samudra cinta, walaupun rakit hanya terbuat dari gedebong pisang yang diikat daun ilalang. Kayuhan tangan pecinta berlayarkan secarik hati yang telah menyatu, yakin menggapai cinta-Nya hingga ujung waktu.

Cinta... selalu mengharu-biru perasaan manusia. Cinta kadang tersaji dalam hidangan alunan nada menye-menye melankolik, namun cinta juga bagaikan mutiara yang dapat menjanjikan keamanan, ketentraman dan kedamaian. Duahsyaat nian!!! Karena itu, Syaikh Yusuf Al-Qardhawiy pun pernah menganalogikan cinta ibarat quwwah maghnathisiyyah (kekuatan gaya grafitasi), apabila kekuatan gaya grafitasi dapat menahan bumi dan bintang-bintang dari saling bertumbukan, maka cintalah yang menjadi kekuatan penahan dari terjadinya benturan antar manusia yang menyebabkan terjadinya kehancuran.

Menunjukkan cinta kita kepada yang dicintai, sangatlah dianjurkan dalam Islam. Dalam suatu riwayat, Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam mengajarkan kepada kita untuk menunjukkan cinta secara zahir. Suatu ketika Abdullah bin Sarjas radhiyallahu'anhu berkata kepada beliau, "Aku mencintai Abu Dzar." Tanya Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam, "Apa sudah kau kabarkan kepadanya?" "Belum," lalu Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam memerintahkan agar ia memberitahukan kecintaannya itu kepada Abu Dzar. "Wahai Abu Dzar, aku mencintaimu karena Allah Subhanahu wa Ta'ala," ucap Abdullah. "Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintaimu, yang engkau cintai aku karena-Nya," balas Abu Dzar.
Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam lalu bersabda, "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberi pahala bagi siapa yang mengatakan perkataan itu."

Subhanallah... begitu besar imbalan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada seseorang yang selalu menunjukkan cinta kepada saudaranya. Apalagi dengan membiasakan mendoakan saudaranya dari jauh, mengucapkan salam, berjabat tangan bila berjumpa, saling memberi hadiah, menziarahi bahkan dengan hanya seulas senyum termanis yang dimilikinya.

Kalo gitu sah-sah aja dong, mengatakan "Aku cinta padamu duhai ukhti," kepada akhwat atau sebaliknya, 'Akhi, aku mencintaimu," idih... ini sih emang maunya! Gedubrak!!! Sah-sah aja sih, namun menurut Ustadz Bukhori Yusuf Lc, MA bisakah hati ini tulus menyatakan cinta itu hanya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta'ala? Menurut beliau lagi, seluruh sisi wanita adalah daya tarik bagi laki-laki, wuih...., karena itu dalam pandangan syar'i hal ini dapat menjadi suatu problema, dan belum pernah ditemukan dalam khazanah Salafus Shalih radhiallahuanhum. Wilayah sensitif banget nih, amannya sih emang gak perlu dinyatakan kecuali kalo udah suami istri, ehm...

Cinta sejati emang hanyalah pantas ditunjukkan pada Sang Pemilik Cinta, hinggalah jiwa-jiwa ini bersinar dengan cahaya iman yang mengaliri denyut nadi dan butiran darah untuk mematuhi gerak titah-Nya. Merekalah yang dengan cinta-Nya akan memancarkan nuruhum yas'a baina aidihim wa bi aimanihim (cahaya yang memancar di depan dan kanan mereka) hingga tercipta keindahan akhlak adzilatin 'alal mukminina a'izatin 'alal kafirin (lemah lembut kepada orang mu'min dan bersikap keras terhadap orang kafir).

Ya akhi wa ukhti fillah,
Tunjukkan selalu cintamu pada saudaramu, berikan senyum terindah, jabat erat tangannya, peluk dengan penuh cinta bagaikan cintanya seorang ibunda kepada ananda serta katakan, "Inniy uhibbuka fillahi ta'ala, aku mencintaimu karena Allah Subhanahu wa Ta'ala," dan balas cinta saudaramu dengan senyum bahagia, jabatan tangan yang tak kalah erat, raih pelukannya seraya mengatakan, "Uhibbukal ladzi ahbabtani lahuu, aku mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku karena-Nya."

*Segarnya tetesan embun pagi / Biaskan indahnya sinar mentari
Angin yang semilir sejukkan hari / Gambarkan kuasa Illahi

Kuikuti jalannya hari / Kini kucoba tuk fahami dunia
Betapa mempesonanya alam / Terkuak misteri kehidupan

Andai semua seindah bintang / Menepis kegelapan
Menabur kasih antara kita / Terbingkai keihklasan
Warnai persaudaraan Islam

Bila malam telah menjelang / Kupandangi bintang kian benderang
Kurangkai sebait doa pada-Mu
Tunjukilah kami, luruskanlah kami dalam mengarungi kehidupan
(Notes: Dikutip dari lirik nasyid Nuansa Kehidupan-Nuansa)


Wallahua'lam bi showab.

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,

Abu Aufa
(Inniy uhibbuka fillahi ta'ala, ikhwah fillah)